Bandung, 10-11 Oktober 2024
LITERASI Indonesia & INTRINSICS dengan dukungan PT Pertamina (Persero) menyelenggarakan Exclusive Workshop dengan mengusung tema “Alasan Penghapus Pidana & Perlindungan Hukum untuk Direksi/Komisaris BUMN dalam Corporate Action: Fiduciary Duty sebagai Tolak Ukur Pertanggungjawaban Direksi terhadap Kerugian Bisnis Perseroan”. Kegiatan dilaksanakan di Swiss-Belresort Dago Heritage Bandung pada 10-11 Oktober 2024 dengan menghadirkan 4 narasumber, yaitu: Dr. Narendra Jatna, S.H., LL.M., Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara; Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., Mantan Kepala PPATK.; Febri Diansyah, S.H., Managing Partner Visi Law Office dan Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia.
Exclusive workshop ini dihadiri oleh 66 peserta yang terdiri dari jajaran Direksi, Komisaris & Manajemen berbagai BUMN di tanah air. Kegiatan ini diselenggarakan guna memberikan pemahaman mengenai perlindungan hukum bagi Direksi/Komisaris BUMN berdasarkan Business Judgement Rule (BJR) dari potensi tindak pidana korupsi khususnya mengenai kerugian keuangan negara.
Tindak Pidana Korupsi mengenai kerugian keuangan negara diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Terkait dg aspek kerugian negara, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut telah mengalami pergeseran makna melalui Putusan MK No. 23/PUU-XIV/2016. Dengan dihapusnya kata “dapat”, maka kerugian keuangan negara yang sebelumnya dapat berupa potential loss kemudian menjadi wajib actual loss. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika kerugian tersebut terjadi di BUMN? Apakah seluruh kerugian yang dialami BUMN sekaligus merupakan kerugian keuangan negara yang berarti korupsi? Kemudian sejauh mana direksi sebagai organ BUMN dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana?
Berbicara mengenai kerugian, Febri Diansyah menilai kerugian bisnis dalam BUMN tidak secara otomatis dapat dianggap sebagai kerugian keuangan negara. Lebih lanjut, dijelaskan pentingnya prinsip kepastian hukum dalam memilah mana perbuatan yang mutlak salah dengan perbuatan yang masih abu-abu dalam melakukan keputusan bisnis di BUMN. “Seharusnya bisa dipilah, mana perbuatan yang dilatarbelakangi dengan niat jahat, lahir dari persekongkolan, dan merugikan keuangan negara dengan keputusan bisnis yang telah didahului analisis yang cukup, perusahaan telah menerapkan GCG & BJR, ujarnya.
Prinsip BJR sendiri pertama kali diterapkan di Amerika Serikat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Negara Bagian Delaware tahun 1984 kasus Aronson v. Lewis, kemudian di Indonesia prinsip BJR mulai diterapkan setelah adanya Putusan MK No. 32/PUU-XVII/2019 yang pada pokoknya Mahkamah menimbang potensi kerugian telah diantisipasi oleh dunia bisnis dengan menerapkan prinsip BJR bagi pengelola perusahaan, dengan asumsi pengelolaan perusahaan yang berdasarkan itikad baik, tidak dapat dituntut secara hukum ketika tindakannya menimbulkan kerugian bagi perusahaan di kemudian hari.
Narendra Jatna menjelaskan bahwa konsep keuangan negara diatur dalam beberapa ketentuan yaitu UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Negara (UU BPK), UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor (UU Tipikor). Namun makna keuangan negara dalam beberapa ketentuan tersebut menyebabkan multi tafsir, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum. Misalnya dalam UU Keuangan Negara disebutkan dalam penjelasan umum bahwa keuangan negara meliputi keuangan yang dikelola oleh BUMN atau BUMD, sedangkan dalam UU BUMN jelas modal BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ia berpendapat untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut dapat diatasi dengan konsep lex specialis sistematis. Oleh karena banyaknya ketidakpastian hukum tersebutlah, sangat penting sekali untuk dapat memilah mana kerugian BUMN yang menyentuh tindak pidana korupsi dan mana kerugian BUMN yang murni akibat tindakan bisnis.
Prof. Hikmahanto Juwana mengutarakan pendapat yang senada, terdapat perbedaan pemahaman antara keuangan milik BUMN dengan keuangan negara. Perbedaan pemahaman tersebut dapat dilihat dari ketidakselarasan peraturan perundang-undangan, seperti perbedaan pemahaman mengenai modal di UU BUMN dan UU Keuangan Negara. Pasal 4 UU BUMN menjelaskan modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Namun di sisi lain, menurut penjelasan umum UU Tipikor, menyatakan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan. Perbedaan mengenai ruang lingkup keuangan negara ini juga dipertegas dalam ketentuan di Pasal 1 angka 1 UU Perbendaharaan Negara, bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan.
Selanjutnya, Prof. Hikmahanto Juwana menjelaskan jika keuangan negara telah dipisahkan untuk keuangan BUMN, maka tidak tepat menganggap keuangan BUMN sebagai keuangan negara, karena pengelolaan keuangan negara dengan pengelolaan keuangan BUMN merupakan dua hal yang berbeda. “Selain itu penerapan konsep uang BUMN merupakan uang Negara tersebut juga bertentangan dengan pemisahan uang publik dan uang privat”, tutur beliau.
Tidak hanya membahas ruang lingkup keuangan negara dan keuangan BUMN, Dr. Yunus Husein dalam exclusive workshop ini juga membahas secara mendalam mengenai pertanggungjawaban direksi dalam hal terdapat kerugian di BUMN. Merujuk pada ketentuan Pasal 48 KUHP, disebutkan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana ketika:
- Termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi;
- Menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
- Diterima sebagai kebijakan korporasi;
- Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana;
- Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi dalam tindak pidana korporasi, Dr. Yunus menegaskan selama direksi telah menerapkan Good Corporate Governance dan BJR dengan benar maka dugaan tindak pidana korupsi bisa gugur di pengadilan. Sepanjang pengurusan perseroan dijalankan dengan prinsip good faith (itikad baik) dan bertanggungjawab semata-mata untuk kepentingan perseroan maka segala risiko yang timbul adalah risiko bisnis, oleh karenanya Direksi tidak dapat dihukum karena kerugian perseroan yang timbul tersebut.
Lebih lanjut, Febri Diansyah menjelaskan pentingnya membedakan mana tindakan yang berpotensi pada tindak pidana korupsi dan mana tindakan yang merupakan risiko bisnis. Merujuk pada Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Pasal 27 PP No. 23 Tahun 2022 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian BUMN, apabila Direksi dapat membuktikan:
- Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
- Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
- Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
- Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya kerugian tersebut.
“Meskipun awalnya Pasal 97 ayat (5) UU PT tersebut berada di ranah perdata, namun dalam perkembangannya konsepsi hukum bisnis ini diserap di ranah Pidana. Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan Pasal 97 ayat (5) UU PT itulah yg menjadi indikator BJR”, jelas Febri.
Narendra Jatna, juga menegaskan bahwa untuk menilai apakah suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan berpotensi sebagai tindak pidana korupsi dapat dilihat dari adanya mens rea atau niat jahat. Dua indikator tersebut menjadi tolak ukur untuk membuktikan adanya rekayasa didukung dengan kehendak (willen) dan pengetahuan (weten) bahwa tindakan yang akan dilakukan akan menimbulkan kerugiaan perusahaan. Jika dua hal tersebut terbukti dan terpenuhi, maka kerugian yang diderita oleh perseroan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Bahwa dari seluruh penjelasan yang diuraikan oleh narasumber dinilai perlu untuk memastikan dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan harus didasarkan pada pengambilan keputusan bisnis dengan itikad baik. Febri Diansyah, Managing Partner VISI LAW OFFICE menyarankan pentingnya dilakukan Legal Due Diligence yang diperdalam dengan pengujian indikator BJR & UU Tindak Pidana Korupsi diperlukan untuk memastikan apakah Direktur/Komisaris BUMN telah mengambil keputusan bisnis yang dilakukan dengan itikad baik. “Kami menyebutnya dengan istilah Legal & Corruption Risk Due Diligence”, tutup Febri.
***
Ingin diskusi lebih lanjut, dapat menghubungi VISI LAW OFFICE (+62 811-9701-020)
Penulis
- Martina Intan Yudawibawa, S.H.
- Muhammad Rafi Syamsudi, S.H.