News & Insight

Pergeseran Makna Kekayaan BUMN serta Implikasinya terhadap Pertanggungjawaban Direksi BUMN

RUU BUMN 2025 menghapus frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”, mengeluarkan kekayaan BUMN dari ruang lingkup keuangan negara menurut beberapa UU. Hal itu memicu perdebatan dan benturan hukum dengan UU Tipikor yang masih menganggapnya bagian dari keuangan negara. Selain itu RUU BUMN 2025 ini menegaskan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara dan mengubah pertanggungjawaban Direksi BUMN yang kini dilindungi oleh Business Judgement Rule.

 

Pergeseran Makna Kekayaan BUMN dan Kekayaan Negara

RUU BUMN 2025 mengubah definisi Badan Usaha Milik Negara yang sebelumnya diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN Sebelum Amandemen”) menjadi sebagai berikut:

 

UU BUMN Sebelum Amandemen RUU BUMN 2025
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang memenuhi minimal salah satu ketentuan berikut: 

  • seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia melalui penyertaan langsung; atau 
  • terdapat hak istimewa yang dimiliki Negara Republik Indonesia.

 

Perubahan tersebut menghilangkan frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”, hal tersebut membuka dua kemungkinan sebagai berikut:

  • Pertama, RUU BUMN 2025 menegaskan bahwa saat ini modal BUMN sudah tidak dimaknai lagi sebagai kekayaan negara yang dipisahkan sehingga bukan termasuk ke dalam keuangan negara.
  • Kedua, modal BUMN dapat berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan maupun sumber lainnya sehingga termasuk dalam keuangan negara.

Untuk menjawab hal tersebut, perlu dilihat apakah perubahan definisi BUMN tersebut masih masuk kedalam ruang lingkup ‘Keuangan Negara’ dan definisi ‘Perbendaharaan Negara’ yang diatur dalam beberapa UU lain di antaranya yaitu:

Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Keuangan Negara … meliputi:

….

  • kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.

Pasal 1 angka 7 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Pasal 1 angka 1 dan angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

Berdasarkan uraian mengenai keuangan negara diatas, modal BUMN tidak lagi masuk dalam ruang lingkup keuangan negara berdasarkan UU Keuangan Negara maupun UU BPK dan juga definisi perbendaharaan negara, khususnya dalam UU Perbendaharaan Negara. Hal tersebut karena dengan penghilangan frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”, sehingga tidak lagi relevan dengan definisi keuangan negara pada beberapa undang-undang tersebut.

Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kekayaan BUMN masih merupakan kekayaan negara? Kemudian apakah ketika BUMN mengalami kerugian, maka apakah dapat ditafsirkan secara mutatis mutandis bahwa hal tersebut merupakan kerugian keuangan negara? 

Salah satu UU yang mendefinisikan “Keuangan Negara” adalah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [“UU Tipikor”]. Hal ini dicantumkan dalam penjelasan umum sebagai berikut: 

Penjelasan Umum UU Tipikor

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : 

  • berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; 
  1. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Berdasarkan UU Tipikor tersebut dapat dimaknai bahwa kekayaan BUMN masih termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara berdasarkan UU Tipikor. Namun, tidak dapat dikatakan secara mutatis mutandis bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian negara. Sebab dalam Pasal 4B RUU BUMN 2025 telah jelas menegaskan bahwa “Keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN” yang dipertegas dalam Penjelasan Pasal 4B RUU BUMN 2025 bahwa “Modal dan kekayaan BUMN merupakan milik BUMN dan setiap keuntungan atau kerugian yang dialami oleh BUMN bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara…”. Akan tetapi hal tersebut menimbulkan benturan hukum atau conflict of law dengan UU Tipikor, karena ruang lingkup keuangan negara dalam UU Tipikor meliputi kekayaan BUMN sedangkan dalam RUU BUMN 2025 ditegaskan bahwa kekayaan BUMN merupakan milik BUMN.

Benturan hukum ini terjadi karena dalam RUU BUMN 2025 telah terdapat transformasi status hukum keuangan negara dalam BUMN. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4A ayat (5) RUU BUMN telah menegaskan bahwa “Modal negara pada BUMN yang berasal dari penyertaan modal baik dalam rangka pendirian BUMN merupakan kekayaan BUMN yang menjadi milik dan tanggung jawab BUMN”, artinya telah terjadi transformasi status hukum terhadap keuangan negara dalam penyertaan modal kepada BUMN. Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 2A ayat (3) dan (4) PP No. 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas bahwa kekayaan negara yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, bertransformasi menjadi saham/modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut dan kekayaan negara yang bertransformasi menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut.

Walaupun terjadi benturan hukum dengan UU Tipikor, sepatutnya dapat ditafsirkan telah terjadi pergeseran makna bahwa kerugian BUMN bukan merupakan kerugian negara. Sehingga RUU BUMN 2025 ini seharusnya mengesampingkan makna kerugian keuangan negara dalam UU Tipikor. Hal tersebut sebagaimana asas hukum lex posteriori derogat legi priori yaitu hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Oleh karena itu benturan hukum tersebut dapat terhindarkan.

Implikasi Ketentuan “Kerugian BUMN Bukan Kerugian Negara” Terhadap Pertanggungjawaban Direksi BUMN

Meskipun sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penjelasan Pasal 4B yang menegaskan bahwa kerugian BUMN bukan merupakan kerugian negara menimbulkan conflict of law, akan tetapi terang dan jelas bahwa hal ini berimplikasi pada pemenuhan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Hal ini karena dalam Pasal 2 dan 3 terdapat unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, sehingga manakala BUMN mengalami kerugian, maka kerugian tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan seseorang melakukan tindak pidana korupsi.

Sebelumnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sering dikaitkan dengan pertanggungjawaban Direksi BUMN ketika BUMN mengalami kerugian. Dalam beberapa kasus, telah banyak ditemukan Direksi BUMN didakwa melakukan pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, diantaranya dalam kasus korupsi PT Pertamina, PT Pelindo II, dan PT Waskita Karya. Lantas, apabila BUMN mengalami kerugian, bagaimana pertanggungjawaban Direksi BUMN?

BUMN yang merupakan badan usaha berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas, maka tunduk pada Hukum Perseroan Terbatas. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa pada dasarnya Direksi bertanggung jawab secara penuh atas kerugian yang dialami perseroan apabila terbukti bersalah (schuld, guilt or wrongful act) atau lalai (culpoos, negligence) dalam menjalankan tugasnya melaksanakan pengurusan Perseroan. Dalam RUU BUMN 2025, pertanggungjawaban direksi telah diatur dalam Pasal 9F sebagai berikut:

Pasal 9F ayat (1) RUU BUMN 2025

“(1) Anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian BUMN jika tidak dapat membuktikan: 

  • kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 
  • telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan BUMN; 
  • tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  • telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”

Ketentuan ini sekaligus mengadopsi doktrin Business Judgement Rule ke dalam UU BUMN yang sebelumnya hanya diatur secara implisit dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Dalam doktrin BJR, direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum secara pribadi atas keputusan yang telah diambilnya, sekalipun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan, selama keputusan tersebut dilakukan dengan itikad baik (good faith).

Kesimpulan

Penghapusan istilah atau frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” dalam RUU BUMN 2025, berimplikasi pada ruang lingkup kekayaan BUMN sebagai Keuangan Negara serta pertanggungjawaban atas kerugian BUMN. Konsekuensi yang timbul atas perubahan ini adalah definisi dan ruang lingkup keuangan negara yang diatur dalam UU Keuangan Negara, UU BPK, maupun UU Perbendaharaan Negara sudah tidak lagi relevan. Maka diperlukan amandemen atau penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan sebelumnya, agar tercipta konsistensi mengenai definisi dan ruang lingkup keuangan negara dengan berbagai ketentuan yang berlaku, terutama terhadap ketentuan yang memuat ketentuan pidana seperti dalam UU Tipikor.

***

Oleh : Fharefta Akmalia dan Muhammad Rafi Syamsudi

Telah Publish di website Hukum Online

https://www.hukumonline.com/berita/a/pergeseran-makna-kekayaan-bumn-dan-implikasinya-terhadap-pertanggungjawaban-direksi-bumn-lt67b9e73c2e590/

Picture of Visi Law Office

Visi Law Office