“My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins” – Manuel L Quezon
Dinamika politik nasional kembali memanas usai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri, mengeluarkan instruksi kepada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari PDIP untuk menunda keikutsertaan dalam kegiatan retret yang diselenggarakan Menteri Dalam Negeri di Magelang pada tanggal 21-28 Februari 2025. Atas instruksi tersebut, beberapa Kepala Daerah yang diusung oleh PDIP seketika menunda keikutsertaannya dalam kegiatan retret.
Retret Kepala Daerah merupakan bentuk pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah agar pelaksanaan pemerintah yang telah diserahkan kepada Kepala Daerah terpilih berjalan sesuai dengan kebijakan nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [“RJMN”] yang telah disusun Presiden dan disahkan oleh DPR.
Pertanyaanya adalah dalam tatanan hukum tata negara, apakah partai politik dapat melakukan intervensi kepada Kepala Daerah terpilih yang diusungnya untuk tidak mematuhi kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat?.
Partai Politik dalam Kacamata Hukum Tata Negara
Pada dasarnya, sistem demokrasi di Indonesia mengakui adanya partai politik yang dilegitimasi dengan adanya UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 [“UU Partai Politik”]. Secara normatif pembentukan partai politik merupakan bentuk jaminan yang diberikan oleh Negara sebagai sarana partisipasi politik bagi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Hal tersebut merupakan pengejawantahan dari kebebasan berserikat sebagaimana ketentuan Pasal 28E UUD NRI 1945. Namun pada kenyataannya, partai politik dibentuk untuk mencari kekuasaan, mendapatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan yaitu melalui proses pengisian jabatan politik secara demokrasi.
Dalam proses kontestasi politik, salah satunya pemilihan Kepala Daerah, partai politik memiliki andil besar dalam proses pencalonan. UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 [“UU PILKADA”] telah mengatur secara jelas pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Kepala Daerah secara langsung dan demokratis yang diajukan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik. Walaupun juga diberikan kesempatan bagi calon Kepala Daerah untuk mencalonkan diri melalui jalur independen, tentu jalur tersebut jauh lebih sulit dibandingkan menggaet partai politik pendukung.
Untuk mengantongi dukungan dari partai politik, calon Kepala Daerah seringkali memberikan ‘mahar politik’ baik berupa uang maupun janji politik. Sehingga relasi kuat terjalin antara Kepala Daerah dengan partai politik pengusung sebagai akibat politik balas budi pasca pilkada. Politik balas budi tersebut menyebabkan partai politik memiliki kuasa, kendali dan intervensi penuh terhadap Kepala Daerah yang diusung baik dalam hal pengambilan keputusan maupun tindakan lainnya. Tidak heran, Kepala Daerah lebih memilih mematuhi instruksi Ketua partai politik ketimbang Pemerintah Pusat.
Pemisahan Organisasi Partai Politik dan Ketatanegaraan
Meskipun untuk menduduki jabatan Kepala Daerah dapat melalui usulan partai politik dalam Pemilihan Kepala Daerah. Namun perlu dipahami bahwa terdapat batasan “cawe-cawe” partai politik terhadap kader yang telah menjadi Kepala Daerah. Pasal 12 huruf i UU Partai Politik menyatakan “Partai Politik berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, sehingga secara hukum memang telah membatasi peran partai politik hanya sampai pada pengusulan Calon Kepala Daerah.
Hal tersebut dikarenakan dalam sistem pemilihan eksekutif, kepesertaan dalam pemilihan Kepala Daerah adalah warga negara Indonesia, sementara peran partai politik hanya sebatas mengusulkan calon. Selanjutnya, Kepala Daerah yang telah dilantik secara resmi berkedudukan sebagai pejabat eksekutif pemerintah yang bersifat independen dan terlepas dari komando partai politik dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga fokus Kepala Daerah terpilih adalah melaksanakan janji politik, mandat rakyat dan tugas pemerintahan sebagai organ kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, partai politik tidak memiliki hak untuk memberikan perintah bagi Kepala Daerah secara langsung maupun tidak langsung dalam pengambilan keputusan pemerintahan.
Berbeda halnya dalam kekuasaan legislatif sesuai Pasal 172 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana perubahan terakhir dalam UU Nomor 7 Tahun 2023 [“UU Pemilu”] yang menyatakan bahwa “Peserta Pemilu untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah partai politik”. Artinya peserta pemilihan legislatif merupakan representasi partai politik. Hal tersebut yang kemudian memberikan ruang-ruang bagi partai politik menitipkan kepentingannya atau bahkan memberikan komando kepada kadernya melalui fraksi anggota legislatif.
Pemecatan Sebagai Kader Partai Politik Tidak Berdampak Hukum Bagi Kepala Daerah
Ketentuan Pasal 240 UU Pemilu telah menegaskan bahwa syarat menjadi anggota DPR dan/atau DPRD salah satunya adalah menjadi anggota partai politik. Sehingga pemecatan anggota legislatif oleh partai politik tentu berdampak pada diberhentikannya sebagai anggota legislatif. Hal tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 239 ayat (2) huruf g UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 [“UU MD3”] yang pada pokoknya menyatakan bahwa anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila diberhentikan sebagai anggota partai politik. Sehingga perlu adanya hubungan baik antara anggota legislatif dengan partai politiknya karena apabila dikemudian hari ternyata ditemukan fakta antara anggota legislatif dengan partai politik tidak sejalan, maka akan berpotensi dilakukannya pemecatan sebagai kader dan berakibat pada diberhentikannya sebagai anggota legislatif.
Berbeda dengan Kepala Daerah, oleh karena syarat menjadi Kepala Daerah dalam UU Pilkada tidak mewajibkan Kepala Daerah sebagai anggota partai politik kondisi yang demikian kemudian tidak menjadikan Kepala Daerah terikat dengan partai politik. Pun apabila merujuk pada ketentuan Pasal 78 UU Pemerintahan Daerah pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tidak didasarkan karena diberhentikannya sebagai anggota partai politik. Oleh karenanya, pemecatan Kepala Daerah sebagai kader partai politik tidak menyebabkan pemberhentian seseorang sebagai Kepala Daerah.
Kepala Daerah Tunduk Pada Pemerintah Pusat
Pada prinsipnya pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Kepala Daerah selaku Pemimpin Daerah otonom ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai bagian target dari pemerintah pusat. Otonomi memberikan kebebasan untuk mengurus daerah otonomnya tanpa mengabaikan kedudukan pemerintah daerah sebagai aparat pemerintah pusat (Mahfud MD:2020). Karena dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan nasional tidak ada kedaulatan daerah sebagaimana penjelasan umum UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah juga tunduk pada koridor yang telah ditentukan oleh Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintah.
Terlepas dari politik hutang budi, menjadi keliru apabila Kepala Daerah yang merupakan aparat pemerintah pusat kemudian mengabaikan pembinaan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri selaku pembantu Presiden dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Apalagi Kepala Daerah seharusnya menjalankan tugas pemerintahan tanpa intervensi dari partai politik pengusung. Kedepannya, apabila Kepala Daerah tetap terikat politik hutang budi dengan partai politik pengusung, kondisi tersebut justru akan menghambat program pemerintah dan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan utama pemerintahan tidak tercapai. Lebih jauh, harmonisasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah penting untuk dijaga demi perwujudan Indonesia Emas yang merupakan gagasan tujuan negara dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
***
Oleh : Virda Wildan Syah dan Maullana Tegar Bagaskara
Telah Publish di website Hukum Online
https://www.hukumonline.com/berita/a/hubungan-partai-politik-dan-kepala-daerah-dalam-ketatanegaraan-lt67c2c324cd31b/