News & Insight

(RILIS MEDIA) Sengketa Penghitungan Masa Jabatan, APKASI Minta Mahkamah Konstitusi Hitung Masa Jabatan Sejak Pelantikan

Visi Law Office, Jakarta 21 Februari 2025. Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi Tahun 2024, muncul salah satu dinamika mengenai tafsir periode masa jabatan seseorang menjadi kepala daerah. Jika dilacak dalam sejumlah perkara perselisihan pemilihan kepala daerah yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, perkara tersebut meliputi tiga perkara yakni Perkara Perselisihan Pilkada Kabupaten Tasikmalaya (132/PHPU.BUP-XXIII/2025), Perkara Perselisihan Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara (195/PHPU.BUP-XXIII/2025) dan Perkara Perselisihan Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan (68/PHPU.BUP-XXIII/2025).

APKASI meminta MK untuk tetap melakukan penghitungan masa jabatan dimulai sejak pelantikan sebagaimana ketentuan Pasal 162 UU Pilkada. Jika MK menghitung Pjs atau posisi Wakil Bupati yang menjalankan tugas sebagai Bupati sebagai bagian dari jabatan definitif, hal tersebut akan menimbulkan kerancuan secara hukum karena posisi tersebut tidak dapat dipersamakan dengan jabatan definitif.

APKASI menilai salah satu persoalan penghitungan masa jabatan yang berujung menjadi sengketa di MK dimulai dalam pertimbangan perkara MK Nomor 129/PUU-XXII/2024 yang turut menyertakan masa jabatan (Pjs atau Plt sebagai bagian dari perhitungan masa jabatan. Pertimbangan dalam putusan tersebut berbenturan dengan pertimbangan hukum dalam Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Bima Arya dkk dan Permohonan dalam Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Moh Ramdhan Pomanto dkk

“Berdasarkan norma Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016, kepala daerah/wakil kepala daerah diberikan masa untuk menjabat selama 5 (lima) tahun yang penghitungannya dimulai sejak kepala daerah/wakil kepala daerah tersebut dilantik. Artinya, secara umum, perhitungan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah dimulai sejak pelantikan, bukan berdasarkan waktu pemilihan atau pemungutan suara dilaksanakan kecuali yang secara tegas diatur dalam norma tertentu bahwa masa jabatan tersebut tidak genap 5 (lima) tahun [vide Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016] yang telah diketahui oleh kepala daerah/wakil kepala daerah sejak sebelum mencalonkan dalam pemilihan kepala daerah.” [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/PUU-XXI/2023].

Jika saja MK menggunakan pertimbangan Putusan Nomor 129/PUU-XXII/2024 dalam perkara Tasikmalaya, Kutai Kartanegara dan Bengkulu Selatan, maka secara faktual jabatan yang disebut “dua periode” tersebut hanya dijalani selama 6 tahunan saja. Terlebih lagi kepala daerah hasil pilkada 2020 hanya menjalani selama kurang dari 4 tahun masa jabatan disebabkan karena pemotongan masa jabatan akibat politik hukum pilkada serentak 2024. Jangka waktu ini bahkan jauh lebih singkat dari satu periode jabatan Kepala Desa yang mencapai 8 tahun. Tentu saja hal tersebut menciptakan ketidakadilan, ketidakpastian secara hukum serta merugikan Kepala Daerah dan masyarakat yang telah memilih kepala daerah tersebut;

Berikut ini simulasi masa jabatan jika MK menilai Wakil Bupati yang menjalankan tugas sebagai Bupati merupakan bagian dari masa jabatan. Sehingga secara faktual dua periode hanya dijalankan selama 6 tahunan saja.

***

Contact Person: Donal Fariz (08119950616)

Picture of Visi Law Office

Visi Law Office