News & Insight

Masa Jabatan Terpotong, Tujuh Kepala Daerah Uji UU Pilkada

JAKARTA, HUMAS MKRI – Tujuh kepala daerah menguji secara materiil aturan masa jabatan bagi kepala daerah yang merupakan hasil pemilihan tahun 2018 sebagaimana diatur dalam UU Pilkada. Ketujuh kepala daerah tersebut, yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Didie Wakil Wali Kota Bogor A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan dan Wali Kota Tarakan Khairul. Ketujuh pimpinan daerah ini mendalilkan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada menyebutkan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serra Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023,” dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) UUD NRI 1945.

Sidang perdana Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 tersebut digelar pada Rabu (15/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang tersebut, Donal Fariz mewakili para Pemohon menyatakan, kendati pasal a quo pernah diujikan dan diputus MK (Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021), namun pada permohonan ini dasar konstitusionalitas pengujiannya berbeda dari permohonan yang diujikan sebelumnya. Para Pemohon yang merupakan pejabat kepala daerah yang merupakan produk penyelenggaraan pemilihan secara serentak di dalam masa transisi ini mempersoalkan ruang ketidakpastian hukum dari norma yang diujikan ini. Sebab, lanjutnya, pasal tersebut berpotensi memotong masa jabatan menjadi tidak utuh lima tahun karena diakhiri pada 2023. Menurut para Pemohon, akhir masa jabatannya sama sekali tidak mengganggu jadwal pemungutan suara serentak nasional yang diselenggarakan pada November 2024 mendatang. Bahwa penunjukan pejabat kepala daerah untuk menjalankan pemerintahan sepatutnya dilakukan setelah kepala daerah definitif menyelesaikan masa jabatannya. Dengan demikian, ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara faktual telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon.

“Petitum, menyatakan ketentuan di dalam Pasal 201 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 ‘Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023’ bertentangan dengan ketentuan di dalam UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang dilantik tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024,” sampai Donal dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh tersebut.

Petitum Para Pemohon

Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam nasihat Majelis Sidang Panel memberikan catatan mengenai perbedaan dasar hukum dari permohonan yang berbeda dengan permohonan yang pernah diajukan ke MK. Selanjutnya, Saldi mencermati tentang pentingnya bagi para Pemohon untuk menguraikan tahapan dimulainya Pilkada dan tahapan pemungutan suara hingga pengambilan sumpah.

“Sebab ini sangat relevan dikaitkan dengan petitum yang diajukan. Pastikan ini karena pemungutan suara beritanya akan digeser dari November ke September, itu perlu elaborasi dari para Pemohon. Sehingga apa yang dikemukakan dalam petitum dapat diuraikan dari tahapan pilkada itu,” jelas Saldi.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihatnya mencermati tentang kedudukan hukum dari para pejabat yang mengajukan permohonan. “Sebab antara wali kota dan wakil wali kota dinilai satu SK sehingga perlu mempertimbangkan satu kesatuan legal standing-nya, karena tidak mungkin nanti memperpanjang masa jabatan wakilnya saja atau sebaliknya, ini perlu diperkuat dan diperjelas lagi legal standing-nya,” saran Daniel.

Kemudian, Ketua MK Suhartoyo mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk menyerahkan data mengenai pejabat daerah yang mengalami hal yang sama. Kemudian untuk para Pemohon sendiri, diminta untuk memperhatikan petitum yang diajukan yang dinilai bias.

“Ini bias ‘sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024’ karena apakah sebelum TPS dibuka atau bagaimana? Ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Lalu kapan pemerintah menunjuk pejabatnya? Ini harus jelas,” terang Suhartoyo.

Pada penghujung persidangan, Suhartoyo mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonannya. Sehingga selambat-lambatnya naskah perbaikan diserahkan pada Selasa, 28 November 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha

Visi Law Office

Visi Law Office