Makna diskrepansi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketidakcocokan. Namun, dalam konteks tulisan ini akan dimaknai sebagai kesenjangan hukum antara proses kepailitan dengan penegakan hukum pidana. Kepailitan sendiri adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitur pailit. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dan diawasi oleh hakim pengawas.
Setelah dinyatakan pailit, debitur kehilangan hak untuk mengurus hartanya lalu harta kekayaannya ditempatkan di bawah sita umum. Sita umum dalam kepailitan ini bertujuan mendapatkan jaminan dan pelunasan atas utang debitur kepada kreditur (Algra,1974). Di sisi lain, sita pidana dilakukan untuk kepentingan pembuktian. Beberapa kasus juga menunjukkan sita pidana bertujuan mengembalikan kerugian korban tindak pidana.
Persoalannya, penyitaan pidana dalam beberapa praktik penegakan hukum juga dilakukan terhadap harta kekayaan debitur yang dalam proses pailit. Artinya, sita pidana dilakukan terhadap barang yang berada dalam sita umum oleh kurator. Contohnya terjadi dalam perkara pailit KSP Indosurya yang pengurusnya—Henry Surya dan June Indria—juga dijerat pidana (hukumonline, 8 Maret 2023).
Bagaimana kemudian norma hukum mengatur masalah penyitaan tersebut? Apakah regulasi yang mengatur sudah cukup mengatasi situasi tersebut? Jika belum, bagaimana persoalan hukumnya harus diatasi? Tiga permasalahan ini yang ingin penulis jelaskan secara ringkas.
Diskrepansi Norma
Penyitaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan menyimpan di bawah penguasaannya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pengertian itu lebih sempit dibandingkan Pasal 134 Ned.Sv (KUHAP Belanda) yang tidak hanya membatasi untuk kepentingan pembuktian, tetapi juga untuk kepentingan acara pidana.
Ketentuan mengenai penyitaan antara lain diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Isinya menjelaskan jenis-jenis benda yang dapat disita, salah satunya barang-barang milik tersangka atau terdakwa yang diperoleh dari kejahatan.
Ketentuan Pasal 39 ayat (2) KUHAP menegaskan apabila terdapat penyitaan karena perdata atau karena pailit maka penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana dapat tetap dilakukan. Ketentuan ini menjadi landasan bahwa penyitaan oleh penyidik dapat dilakukan di atas sita umum yang dilakukan kurator. Padahal ketentuan tersebut berseberangan dengan prosedur kepailitan dalam Pasal 31 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU).
Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa sejak putusan pernyataan pailit maka segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap harta kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan. Jadi, penyitaan pidana yang dilaksanakan berdasarkan izin penetapan pengadilan (Pasal 38 KUHAP) harusnya dihentikan. Lebih jauh, Pasal 31 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU menegaskan semua penyitaan yang telah dilakukan sebelum putusan pailit menjadi hapus dan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya.
Ada diskrepansi di antara norma KUHAP dan UU Kepailitan dan PKPU yang menyebabkan ketidakpastian penguasaan atas harta kekayaan debitur. Konsekuensinya adalah tanggung jawab atas aset debitur menjadi tidak jelas. Sebagai ilustrasi, terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap barang milik debitur ketika penyitaan pidana oleh penyidik terjadi bersamaan dengan sita umum oleh kurator. Akan timbul perdebatan, siapa yang harus bertanggung jawab atas risiko semacam itu?
Ketentuan Pasal 72 UU Kepailitan dan PKPU memang mengatur bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Namun, tidak rasional jika tanggung jawab tersebut dibebankan pada kurator sementara penguasaan dan pengurusan aset debitur—yang merupakan hasil kejahatan—telah diambil alih penyidik.
Disharmoni Praktik
Sita pidana terhadap harta debitur pailit secara praktik dapat mengesampingkan sita umum oleh kurator. Padahal, kewenangan penyidik maupun kurator sama-sama diatur pada tingkat undang-undang.
Argumentasi pragmatis yang umumnya diajukan ada tiga. Pertama, penyidik menjalankan fungsinya dalam penegakan hukum pidana yang merupakan rezim hukum publik. Jadi, kepailitan dalam wilayah hukum privat dapat dipinggirkan.
Kedua, KUHAP menentukan bahwa penyidik dapat menggunakan upaya paksa (pro justicia)—seperti penyitaan—dalam menjalankan kewenangannya. Ini termasuk ketika kurator hanya dapat meminta bantuan juru sita pengadilan—berdasarkan Pasal 99 UU Kepailitan dan PKPU—untuk mengamankan harta pailit.
Ketiga, penyidik juga diperlengkapi dengan personel dan persenjataan untuk menjalankan kewenangannya. Bahkan atas dasar obstruction of justice dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP, penyidik dapat langsung bertindak jika ada pihak yang menghalangi penyitaan yang dilakukannya. Hal ini dianggap berbeda dengan kurator yang tidak dilengkapi dengan berbagai kewenangan tersebut.
Apakah alasan-alasan itu bisa mengesampingkan kepentingan hukum dalam proses kepailitan begitu saja? Penulis berpendapat tidak demikian. Pertama, hukum pidana tidak selalu menjadi prioritas dalam penyelesaian permasalahan hukum di masyarakat. Prinsip ultimum remedium justru menegaskan hukum pidana sebagai sarana penyelesaian terakhir.
Mekanisme kepailitan dalam beberapa kasus malah bisa jadi lebih efektif dan efisien untuk mendapatkan penyelesaian yang adil. Lagi pula demarkasi hukum publik dan hukum privat pada bagian tertentu tidak lagi jelas lagi batas-batasnya seiring perkembangan masyarakat modern.
Kasus First Travel adalah contoh sanksi pidana penjara bagi para pelaku tidak menyelesaikan kerugian para kreditur yang menjadi korban. Putusan Pengadilan Negeri Depok yang dikuatkan Putusan Kasasi No. 3096K/PID.SUS/2018 tanggal 31 Januari 2019 memutuskan harta kekayaan terdakwa dirampas untuk negara.
Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali No. 365PK/Pid.Sus/2022 mengoreksinya sehingga aset terdakwa yang telah dirampas negara harus dikembalikan kepada para korban. Meski begitu, Putusan Peninjauan Kembali masih menyisakan masalah. Hukum acara pidana tidak menyediakan pedoman untuk pembagian aset dengan jumlah besar dan korban yang banyak. Kasus First Travel tercatat memiliki 63.310 korban dengan total kerugian hingga 905 milyar rupiah (hukumonline.com, 25 Januari 2023).
Kedua, penyitaan sebagai upaya paksa oleh penyidik bersifat diskresi yaitu dapat digunakan jika memang diperlukan bergantung pada urgensinya. Secara normatif penyidik tidak diwajibkan menyimpan sendiri benda sitaannya. Jangan lupa bahwa ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHAP mengharuskan benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan (Rumbasan) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Artinya, benda sitaan tidak diurus sendiri oleh penyidik. Oleh karena itu, sepanjang ada jaminan benda sitaan aman—terurus dengan baik dan mudah diakses untuk kepentingan pembuktian pidana—maka barang milik debitur pailit dapat tetap diurus oleh kurator di bawah sita umum.
Ketiga, kepailitan memang didesain untuk menyelesaikan kewajiban debitur kepada lebih dari satu kreditur. Pemulihan kerugian (utang) dalam jumlah besar pada korban (kreditur) yang banyak akan jauh lebih efektif dengan kepailitan alih-alih mekanisme pidana. Ada sejumlah prinsip seperti paritas creditorium (Pasal 1131 KUHPerdata), pari passu prorate parte, debt collection, serta prinsip publisitas yang menjadi pedoman jelas dalam penyelesaian kerugian bagi kreditur yang juga menjadi korban tindak pidana. Pedoman ini tidak tersedia dalam mekanisme hukum acara pidana.
Hybrid Mechanism
Mencermati diskrepansi yang ada, perlu dibangun suatu mekanisme kerja sama antarrezim hukum (hybrid mechanism). Mekanisme kerja sama dalam konteks ini antara penyidik yang menjalankan KUHAP dengan kurator yang melaksanakan UU Kepailitan dan PKPU. Kerja sama dapat diakomodasi melalui revisi baik KUHAP maupun UU Kepailitan dan PKPU.
Hybrid mechanism seharusnya dapat mengoptimalkan fungsi kurator untuk mengurus dan membereskan harta debitur yang berkaitan dengan tindak pidana. Pembayaran kerugian kepada korban tindak pidana (kreditur) dapat dilaksanakan satu pintu. Cukup melalui mekanisme kepailitan oleh kurator, sementara aparat penegak hukum dapat mengakses barang milik debitur untuk kepentingan pembuktian perkara pidana.
Ketentuan Pasal 39 ayat (2) KUHAP perlu direformulasi dengan memasukkan mekanisme kerja sama ini. Mekanismenya mencakup kriteria pidana agar model hybrid—pola koordinasi dan hubungan tanggung jawab antara kurator, penyidik, dan penuntut umum—dapat diterapkan.
Terakhir, revisi UU Kepailitan dan PKPU juga harus menjamin akses bagi penegak hukum terhadap barang debitur yang terkait tindak pidana. Penegak hukum yang menangani perkara pidana terkait kreditur—yang merupakan korban tindak pidana—ikut pula mengawasi proses kepailitan. Peran ini termasuk menyampaikan komplain jika kepentingan korban untuk mendapatkan pemulihan dinilai tidak terakomodasi dengan adil oleh kurator.
Dengan demikian, mekanisme hybrid tidak sekedar menjamin kepastian hukum tetapi juga keadilan serta kemanfaatan bagi lebih banyak orang. Seperti kata Bentham, “the greatest good for the greatest number”.
*)Indry Annantah adalah Kurator-Pengurus dan Partner di Kantor Hukum Hanis & Hanis; Rasamala Aritonang adalah Kurator-Pengurus dan advokat di Jakarta.