Kontrak baku semakin sering digunakan saat ini, terutama dalam sektor perbankan seperti kontrak deposito, asuransi, dan kredit. Dengan alasan keseragaman dan efisiensi mendorong perusahaan untuk merumuskan sebagian besar atau seluruh klausul perjanjian secara sepihak. Akibatnya, nasabah di sektor perbankan pada praktiknya tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi kontrak. Penggunaan kontrak baku ini memunculkan masalah hukum dalam penegakan perlindungan konsumen dan pelindungan data pribadi, sebab tidak semua klausul dalam kontrak baku dijelaskan dan diuraikan secara spesifik kepada nasabah oleh pihak bank.
Pengaturan Penggunaan Kontrak Baku dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) tidak secara eksplisit mengatur mengenai penggunaan kontrak baku. Validitas suatu perjanjian/kontrak dalam KUHPerdata diukur berdasarkan pemenuhan syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan, kecakapan para pihak, objek tertentu, dan kausa yang halal.
Kendati demikian, pengaturan khusus (lex specialis) mengenai kontrak baku dijumpai dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) mendefinisikan kontrak baku sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan kontrak baku dalam sektor perbankan sah dan mengikat secara hukum sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Potensi Masalah Penggunaan Kontrak Baku
Keabsahan penggunaan kontrak baku menurut hukum tidak serta-merta menghilangkan potensi masalah dalam praktik penggunaan kontrak baku terutama di sektor perbankan. Bank seringkali lalai dalam menginformasikan secara rinci dan jelas setiap klausul dalam kontrak baku yang ditandatangani oleh nasabah.
Padahal keterbukaan informasi mengenai penjelasan setiap klausul dalam kontrak baku menjadi penting bagi nasabah. Dengan tidak adanya keterbukaan informasi yang diberikan oleh bank kepada nasabah maka akan berpotensi menimbulkan sengketa hukum di kemudian hari.
Contoh Kasus
Seorang nasabah A membuka rekening deposito di Bank B pada April 1999 dengan setoran awal Rp 10.000.000. Pihak bank meminta nasabah A untuk menandatangani kontrak baku berupa “All in One Application Form” sebagai bagian dari proses pembukaan rekening. Empat tahun kemudian, nasabah A menemukan adanya transaksi penarikan (withdrawal) dengan kode “Relationship Maintenance Fee” yang secara rutin dipotong dari rekening depositonya sejak Oktober 2003 hingga Oktober 2009. Pemotongan biaya ini tidak pernah diinformasikan kepada nasabah A sebelumnya. Bank B berargumen bahwa informasi mengenai biaya tersebut tercantum dalam “All in One Application Form”. Akan tetapi, nasabah A menyatakan bahwa ia tidak pernah diberi tahu tentang adanya biaya potongan pada saat menandatangani dokumen tersebut.
Pelanggaran Bank mengenai Ketidakterbukaan Informasi
Merujuk pada contoh kasus di atas, kelalaian bank dalam menginformasikan produk dan/atau layanan secara jelas kepada nasabah berpotensi melanggar hak-hak nasabah. Nasabah memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana tertuang pada Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen.
Selain hak nasabah atas keterbukaan informasi, sejatinya bank memiliki kewajiban untuk menginformasikan produk dan/atau layanan secara jelas kepada nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa bank wajib “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
Kewajiban bank untuk menginformasikan secara jelas mengenai produk dan/atau layanan kepada nasabah juga diatur dalam khazanah pelindungan data pribadi, seperti:
- Pasal 5 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”)
“Subjek data pribadi berhak mendapatkan informasi tentang kejelasan identitas, dasar kepentingan hukum, tujuan permintaan dan penggunaan data pribadi dan akuntabilitas pihak yang meminta data pribadi”
- Pasal 20 ayat (2) huruf a UU PDP
“Dasar pemrosesan data pribadi meliputi: a. persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi untuk 1 (satu) atau beberapa tujuan tertentu yang telah disampaikan oleh Pengendali Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi”
- Pasal 21 ayat (1) UU PDP
“Dalam hal pemrosesan Data Pribadi berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a, Pengendali Data pribadi wajib menyampaikan informasi mengenai: b. tujuan pemrosesan data pribadi”
Lebih lanjut, keterbukaan informasi terkait produk dan/atau layanan di sektor jasa keuangan diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 22/2023”) yang pada pokoknya menyatakan “Pelindungan konsumen di sektor jasa keuangan menerapkan prinsip: b. keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan”.
Berdasarkan berbagai ketentuan dalam POJK 22/2023, bank memiliki kewajiban untuk menginformasikan nasabah mengenai setiap klausul dalam kontrak baku, sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 29 ayat (1) POJK 22/2023
PUJK wajib menyediakan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jelas, akurat, jujur, mudah diakses, dan tidak berpotensi menyesatkan calon Konsumen dan/atau Konsumen.
- Pasal 32 ayat (1) POJK 22/2023
PUJK wajib memberikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jelas, akurat, jujur, mudah diakses, dan tidak berpotensi menyesatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian.
- Pasal 32 ayat (2) POJK 22/2023
Bank wajib untuk menginformasikan klausul tersebut pada saat melakukan kegiatan pemasaran dan sebelum penandatanganan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) POJK 22/2023.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penandatanganan kontrak baku pembukaan rekening deposito oleh nasabah A di Bank B tidak serta-merta menciptakan ikatan hukum yang sah bagi kedua belah pihak. Terdapat cacat kehendak berupa tipu muslihat melekat pada kontrak tersebut, disebabkan oleh Bank B yang tidak memberikan informasi yang transparan, lengkap, dan mudah dipahami kepada nasabah A mengenai adanya biaya potongan bulanan.
Praktik ini jelas melanggar ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terkait syarat sah perjanjian, serta prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, UU PDP, dan POJK 22/2023. Konsekuensinya, kontrak baku pembukaan rekening deposito antara nasabah A dan Bank B seharusnya dinyatakan batal demi hukum.
***
Oleh: Salsa Nabila Hardafi
Telah Publish di website Hukum Online https://www.hukumonline.com/berita/a/potensi-pelanggaran-hukum-penggunaan-kontrak-baku-di-sektor-perbankan-lt681b210c3c0ac/